Selasa, 10 Juli 2012

Dugaan Kasus Korupsi Sandiaga Uno - Bagian 3

by TM2K

Sebelumnya, untuk mendapatkan pemahaman lebih utuh, saya sampaikan kronologis tentang proyek dan modus korupsinya. Pada 26 Maret 1996, Pertamina (diwakili dirut Faisal Abda’oe) dan PT. Pandan Wangi Sekartaji (PWS) diwakili dirut Jhony Hermanto. Melakukan penandatangan perjanjian pembangunan, pengoperasian, penyewaan pemeliharaan Depot Satelit A Jakarta No: 0417/C000/96-S5. Pada 1 Desember 1998 Pertamina melalui surat No: 1396/F0000/98-S5 memberitahukan bahwa Proyek harus dievaluasi dan negosiasi ulang. Sesuai hasil Tim Evaluasi, proyek depo tersebut hanya berhasil dikerjakan 28.99% dari kewajiban PWS. Pada 31 Jan 2000, Pertamina surati lagi melalui surat No :119/F0300/98-S5 menegaskan bahwa Pekerjaan PWS hanya mencapai 29% dari total kewajibannya. Pd 16 Februari 2001 Pertamina dan PWS sepakat melakukan negosiasi ulang biaya pembangunan Depo itu. PWS ajukan angka sekitar US$ 83 juta (biaya sewa belum). Sedangkan Pertamina ajukan biaya pembangunan sekitar US$ 63.5 juta & biaya sewa US$ 6.33 juta. Buntu. PWS ajukan biaya baru ke Pertamina.

PWS melalui surat No : 018/PWS/III/2001 dan No. 019/PWS/IV/2001, PWS ajukan biaya: US$ 75,2 juta dan biaya sewa US$ 8.5 juta. Namun Pertamina menolak perhutungan PWS tersebut dan melalui surat No. 016/F0000/2010-5 putuskan untuk gunakan konsultan untuk hitung biaya. Pada 23 Juli 2001 melalui surat No. 035/F0Q00/2001-S5 Pertamina menyetujui penunjukan konsultan Athur Andersen & Prasetio SC. Pada 21 Nopember 2001, Athur Andersen & Prasetio SC usulkan hasil perhitungan: biaya bangun US$ 69,4 juta dan sewa US$ 6.4 per semester. Pada 14 januari 2002 PWS melalui surat No. 01/PWS/I/2002 menyatakan persetujuannya atas hasil perhitungan konsultan kepada Pertamina. PWS juga mengatakan bahwa pihaknya siap dan bersedia melanjutkan kembali pembangunan Depo Satelit A Balaraja Pertamina itu. Pada 6 Juni 2002 PWS mengirimkan surat somasi ke Pertamina karena Pertamina belum juga menyetujui hasil perhitungan yang dibuat konsultan.

Tanggal 25 juli 2002 Pertamina menyampaikan pemberitahuan kepada PWS bahwa Pertamina belum bisa setujui biaya bangun US$ 69 juta tersebut. Pada 23 septermber 2002 Pertamina menyampaikan bahwa BPK sedang menghitung progres pekerjaan yang sudah dilakukan oleh PWS. Ternyata selanjutnya Pertamina menyatakan bahwa proyek tersebut tidak bisa dilanjutkan dan sesuai perjanjian Pertamina akan beri kompensasi. Pada 15 Januari 2003 Pertamina dan PWS sepakat menandatangani surat kesepakatan bersama No. 017/E00000/2003-S0 tentang kompensasi PWS. Kompensasi PWS yang disetujui adalah sebesar US$ 7.5 juta dan harus dibayarkan pada 24 Januari 2003 kepada PWS. Namun Pertamina tidak bayar. PWS tidak menerima keputusan kompensasi kerugian dari Pertamina tersebut dan mengajukannya ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).

Hasil keputusan BANI: menghukum Pertamina untuk membayar kepada PWS sebesar US$ 20 juta dan PWS menyerahkan asset yang in progress US$ 29 juta. Kemudian Pertamina dan PWS sama2 tidak sepakat dalam perhitungan working progress yang telah dikerjakan PWS. Akhirnya disepakati US$ 12.8 juta. Kemudian disepkati bahwa pembayaran oleh Pertamina ke PWS dilakukan dalam 2 tahap masing2 sebesar US$ 6.4 juta /tahapan. Lalu PWS menyerahkan surat keputusan pengadilan tentang sita jaminan terhadap rekening operasional Pertamina dan blue print proyek. Kemudian tahap II dibayar sebesar US$ 6.4 juta setelah PWS serahkan sertifikat tanah HGB No. 32 yang menjadi bukti kepemilikan atas lahan. Namun diketahui bahwa sertifikat No. 32 yang diserahkan oleh PWS kepada Pertamina diketahui adalah palsu. Sertifikat asli dimiliki orang lain. Sebenarnya oknum Pertamina & PWS sudah tahu bahwa sertifikat no. 32 itu adalah sertifikat palsu. Namun pembayaran tahap II tetap dilaksanakan. Oknum Pertamina dan PWS “berspekulasi” dengan mengharap pemalsuan sertifikat tersebut dan pengumuman sertifikat hilang (bohong) itu tidak diketahui oleh pemilik lahan dan pemegang sertifikat No. 31 (yang asli) yaitu Edward Suryajaya. Akibatnya negara rugi US$ 6.4 juta.

Diketahui kemudian bahwa oknum dari Pertamina dan PWS sebelumnya mengetahui bahwa atas lahan Depo tersebut telah ada sertifikat HGB No. 31. Namun, meski begitu, PWS melakukan pemalsuan Sertifikat HGB palsu dengan cara menerbitkan sertifikat HGB No. 32 dengan dokumen/data palsu. HGB No. 31 dinyatakan hilang oleh PWS dan mengumumkannya di media massa dengan harapan Edward Suryajaya tidak mengetahui/baca iklan tersebut. Kemudian atas dasar laporan kehilangan Sertifikat HGB No. 31 itu diterbitkanlah sertifikat HGB No. 32. Oknum BPN juga terlibat disini. Penerbitan Sertifikat HGB No. 32 ini juga aneh karena biasanya Sertifikat HGB pengganti yang hilang diberikan nomor sertifikat yang sama.

Kasus ini muncul ketika Edward Suryajaya selaku pemilik lahan/ pemegang sertifikat HGB No. 31 mengetahui adanya pemalsuan HGB tersebut. Oleh sebab itu, maka disimpulkan telah terjadi perbuatan melawan hukum dan pidana oleh oknum PWS dan Pertamina yang kolusi bersama. Pertamina dan PWS kolusi bersama untuk mengeluarkan uang negara US$ 6.4 juta (pembayaran tahap II) untuk mendapatkan asset yang tak benar. Total kerugian Negara/Pertamina adalah sebesar US$ 12.8 juta (Rp. 115 milyar) karena pembayaran atas asset bodong dari PWS. Para pelaku di PWS adalah : Made Surayadana (Dirut PWS/Dirut VDHTS), Asrul Sani SH (kuasa hukum PWS/VDHTS). SU adalah pemegang saham 100% VDHTS yang mana juga merupakan pemegang saham 100% PT. PWS, penerima uang korupsi tersebut. Indikasi keterlibatan SU dalam pemalsuan sertifikat HGB No. 31 tersebut sangat jelas karena SU mengetahui adanya HGB asli. Bahkan SU dalam suratnya kepada Johanes Kotjo ketika menanyakan sertifikat tersebut, SU mengatakan ada pada Edward Suryajaya. Artinya SU yang sebenarnya telah mengetahui sertifikat HGB asli ada pada Edward Suryajaya tapi sengaja nyatakan hilang. Ketika Edwar Suryajaya melaporkan hal ini ke polisi, Edward nyata2 dapat menunjukan sertifikat asli HGB No. 31 tersebut. 

Pertanyaannya: kenapa kasus ini bisa mangkrak di Kejaksaan Agung? Siapa yang hambat proses hukum atas pidana korupsi dan pemalsuan ini? Apakah demikian saktinya SU sehingga dia kebal hukum dan tidak dapat disentuh? Mau jadi apa negara ini??

Sekian dulu ..terima kasih. Nanti saya lanjutkan kembali tentang dugaan2 tindak pidana korupsi SU di Republik ini..MERDEKAA !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar