Jumat, 13 Juli 2012

Sekilas Tambang Emas di Kab. Madina Sumut

by TM2K

Eng . ing . eng . malam ini saya akan kultwitkan tentang tambang Emas di Kab Madina Sumut, saya lihat,  baru bergejolak & masuk berita2 nasional tuh. Hmm .....Tambang Emas di Mandailing Natal, Siapa Untung Siapa Buntung ? Heehee ..

Dalam menjalankan aktivitas kampanye pengusiran PT Sorikmas Mining (SM) dari Bumi Mandailing Natal (Madina), warga harus berhadapan dengan pertanyaan yang mengandung pertimbangan ekonomi, Kalau tidak ditambang, kan daerah rugi, tidak dapat pemasukan? begitulah ....

Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa memang benar Pemkab Madina akan mendapatkan pemasukan dari model industri ekstraktif skala besar & jangka pendek. Seperti tambang emas, tetapi nilainya lebih kecil dibandingkan dari insentif ekonomi model pembangunan berkelanjutan, jangka panjang. Dan lintas generasi yang sudah berjalan. Hanya saja insentif dari model ekonomi yang kedua jarang dikalkulasi secara ekonomi. Dengan demikian kultwit ini akan membandingkannya dan sedikit mengupasnya secara mendalam dan mendetail ..

Memang benar, pertambangan akan memberikan insentif kepada Pemda Kab Madina, akan tetapi, apakah insentif itu akan sampai juga ke masyarakat Madina? Itu adalah persoalan yang berbeda, karena KORUPSI adalah salah satu permasalahan paling besar yang sedang dihadapi oleh birokrasi di Indonesia. Berdasarkan publikasi Transparancy International pada tahun 2009, maka Indonesia berada di peringkat ke-111 dari 180 negara yang disurvey. Peringkat 180 adalah negara yang dipersepsikan paling korup sedangkan peringkat pertama adalah negara yang dipersepsikan paling tidak korup. Apalagi baru baru ini, yang dipublikasikan di Washington DC, Amerika Serikat, Indonesia menduduki peringkat ke-63 dari 178 negara. Dalam posisi tersebut, Indonesia masuk kategori negara-negara yang dalam bahaya (in danger) menuju negara gagal.

Nah kita kembali ke pokok persoalan, dalam konteks pertambangan emas PT SM di Kab Madina, permasalahan korupsi ini juga perlu menjadi perhatian. Mengapa? karena, akan terlihat sesungguhnya siapa yang untung dan siapa yang buntung dengan adanya tambang emas ini ... heehe

Dalam industri ekstraktif skala besar & jangka pendek seperti pertambangan, maka selain perusahaan, yang mendapatkan untungan adalah para elit. Elit dalam hal ini bisa didefinisikan banyak hal, mulai dari pegawai pemerintahan kabupaten, para pemimpin seperti Kepala Desa & pemimpin organisasi. Para broker yang dengan jeli melihat kesempatan & tentu saja segelintir orang yang karena dinilai memiliki kualifikasi yang dianggap mencukupi menjadi pekerja perusahaan. Sementara kalangan rakyat kebanyakan, berbanding terbalik dengan nasib mereka yang paling dirugikan. Biasanya akan menjadi kelompok terakhir yang mendapatkan uang dari tambang. Bagaimana hal ini dapat terjadi ?

Dalam bisnis prtambangan, maka uang mengalir dari atas ke bawah. Dimulai dari perusahaan, masuk ke kas daerah, baru kemudian turun ke masyarakat. Melalui berbagai bentuk pembangunan. Dalam perjalanannya, seringkali di tiap level transaksi sejumlah uang ini ‘menguap’, Sehingga ketika akan turun ke bawah uang makin kecil. Atau kalau tidak ada gerakan dari bawah, maka uang ini tidak akan turun. Maka tentu saja yang mendapatkan keuntungan adalah para pejabat publik. Dalam dunia pertambangan, sogok-menyogok tampaknya adalah hal yang lazim dilakukan.

Pihak kedua yang akan memperoleh keuntungan adalah para elit masyarakat seperti Kepala Desa, pemimpin organisasi, dan para broker. Kepala desa dan pemimpin organisasi biasanya akan mendapatkan uang karena mereka memiliki massa. Kekuatan massa adalah hal yang riil. Yang sangat ditakuti oleh perusahaan, para pemimpin ini biasanya dirayu sedemikian rupa agar “menjual” massanya untuk kepentingan pribadi.

Contoh kasus seperti ini banyak terjadi, sebut saja misalnya bagaimana para elit masyarakat korban Lumpur Lapindo mendapatkan keuntungan dari proses jual-beli tanah dengan PT Lapindo Brantas Inc., atau juga gejala munculnya istilah”Kiyai Migas” di Pulau Madura. Broker biasanya berfungsi menjadi perantara pihak perusahaan dengan pihak yang ingin didekati oleh perusahaan.

Pihak ke 3, segelintir pekerja yang dengan “kualifikasi yang dianggap mencukupi” untuk menjadi pekerja tambang, para pekerja berskill tinggi. Seperti geologist adalah profesional yang akan berada dimana uang ada. Sementara orang-orang lokal yang direkrut hanya sedikit jumlahnya. Dalam sebuah kesempatan, Leohara Situmeang, salah satu pegawai PT SM yang mengurusi permasalahan community development menyatakan bahwa PT SM mempekerjakan sebanyak 200-an orang tenaga kerja lokal, jumlah ini sangat kecil. Mengingat penduduk Madina memiliki jumlah 413.750 jiwa, dengan kata lain, tenaga kerja yang diserap oleh PT SM tidak sampai 0,5 %.

Bagaimana perbandingan insentif ekonominya? Berdasarkan data yang dirilis oleh LSM Bitra Indonesia pada bulan Juli 2010 lalu, maka diketahui bahwa nilai ekonomi yang akan diperoleh dari model industri pertambangan ekstraktif skala besar berjangka pendek di area Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) hanyalah bernilai sebesar Rp. 121,3 milyar per tahun. Sementara itu, akumulasi keuntungan jasa lingkungan dengan model berkelanjutan, jangka panjang, dan lintas generasi yang melingkupi sektor seperti manfaat hasil hutan non-kayu (karet,rotan,kopi,kayu manis,sarang walet, aren & durian), potensi wisata, aliran sungai, simpanan karbon dan keanekaragaman hayati, didapatkan angka sebesar Rp. 265,5 milyar per tahun atau lebih dari dua kali lipat dari insentif yang diperoleh melalui industri ekstraktif seperti pertambangan emas ataupun pertambangan lain sejenisnya. Kalau nilai ekonomi hutan di Madina yang juga berfungsi sebagai pencegah banjir, erosi, dan tanah longsor dimasukkan, maka secara total dalam jangka waktu 25 tahun Pemkab Madina menghemat uang sebesar/sebanyak Rp. 225 milyar. Karena apabila hutan sudah dibabat,  maka otomatis Pemkab harus mengeluarkan biaya untuk pemulihan bencana ini.

Di bidang tenaga kerja, Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Gadis menjamin ketersediaan pasokan air. Untuk berbagai sektor kehidupan bagi 413.000 jiwa yang hidup di 386 desa pada 23 kecamatan di Kabupaten Madina. Pertanyaannya, kalaulah industri berkelanjutan, jangka panjang dan lintas generasi lebih menguntungkan mengapa Pemkab Madina memberikan izin eksplorasi dan eksploitasi tambang emas bagi PT SMM ? heehehe ... tau donk ... wani piro .. heehe

Alasannya gampang ditebak, karena dalam industri ekstraktif uang mengalir dari atas ke bawah, maka para elit memiliki kesempatan untuk mendapatkan keuntungan melalui berbagai macam cara seperti yang sudah dijelaskan di atas. Sementara, dalam industri jangka panjang & lintas generasi uang berputar riil di tengah-tengah masyarakat, dan kalangan elit susah mengambil keuntungan dari proses ekonomi seperti ini. Hal inilah yang menyebabkan Pemkab Madina merestui operasi PT SM, karena mereka berfikir tentang keuntungan yang akan dapat mereka terima dari industri ini.

Celakanya, elitlah yang memiliki akses pada proses pembuatan kebijakan publik sehingga hasilnya pun terdistorsi sesuai dengan kepentingan mereka. Dengan demikian tak ada jalan lain bagi kalangan ekonomi level bawah Kab Madina kecuali mendesakkan kepentingan mereka melalui berbagai cara. Salah satunya dengan melakukan penolakan secara terus menerus terhadap beroperasinya tambang emas PT SM, karena tampaknya sebagian besar kalangan elit di Indonesia ini, maupun di Kab Madina sudah tidak dapat diharapkan untuk membela kepentingan rakyat, karena telah menjadi budak asing … maka tunggulah saatnya PT SM di Mandailing Natal akan menjadi BOM WAKTU dan API DALAM SEKAM, sehingga nanti di kemudian hari akan memunculkan konflik sosial yang mungkin lebih kurang sama dengan apa yang terjadi di Freeport Papua.

Terima kasih … sekian sudah menyimak, semoga dapat menjadi pencerahan bagi kita semua … heeehee

Tidak ada komentar:

Posting Komentar