Minggu, 05 Agustus 2012

Kasus Korupsi Irjen Djoko S dan Perang Bandar di Tubuh Polri

by kusuma_putri99


Sejak awal, Kapolri (TB 1) Timur Pradopo merasa tidak suka dengan Djoko Susilo yang dinilainya terlalu mengakar di kalangan jajaran Lalulintas Polri. Djoko pun sangat dikenal sebagai “orang” nya Wakapolri (TB2) Nanan Sukarna. Sudah menjadi rahasia umum Djoko Susilo merupakan motor utama dalam tim sukses Nanan. Djoko bersama Wakapolda Bali I Ketut Untung Yoga Ana dan Kapolda Jateng Edward Aritonang (sudah pensiun) dikenal sebagai 3 Serangkai-nya Nanan. Soliditas mereka bertambah kuat saat ketiganya menjalani pendidikan Sespati (Sekolah Staf Perwira Tinggi) 4 tahun lalu.

Motor utama tim sukses yang dimaksud di atas adalah Djoko menggalang dukungan khususnya di Korps Lalulintas (Korlantas) dan elemen lain di kepolisian, DPR, Pers dan LSM untuk meng-gol-kan Nanan Sukarna menduduki posisi TB1. Djoko juga sangat kuat akar dan jaringannya di kalangan wartawan, khususnya di kalangan pers yang biasa meliput bidang hukum dan kriminal. Karena selain Djoko “murah hati”, Djoko juga sangat frendly dan rendah hati di kalangan pekerja pers tsb.

Kedekatan Djoko dengan wartawan sudah sejak dirinya menjabat sebagai Kabag Regident Ditlantas Polda Metro dengan pangkat AKBP, kemudian menjadi Kapolrestro Bekasi, Kapolres Jakarta Utara, Dirlantas Polda Metro, Wadirlantas Mabes Polri, Dirlantas Mabes Polri hingga Kakorlantas Polri dengan pangkat bintang 2.

Saat Djojo menjabat Gubernur Akpol masih cukup banyak wartawan di Jakarta yang menyambanginya ke Semarang. Djoko tidak pernah selektif dalam menjalin pertemanan dengan wartawan. Baik wartawan media besar, middle, kecil hingga wartawan bodrek sekalipun diterima hangat oleh Djoko dengan “tangan terbuka”.
Dijadikan TSK-nya Djoko oleh KPK, merupakan “pukulan” bagi wartawan yang menjalin hubungan pertemanan dengan Djoko. Djoko juga dikenal sebagai perwira polisi pembangun. Mulai Djoko menjabat Kapolres Kota Bekasi dan Kapolres Jakarta Utara. Djoko lah yang membangun gedung polres sehingga menjadi kuat dan terlihat megah. Ketika Djoko menjabat Direkktur Lalulintas Polda Metro selama 4 thn, Djoko yang membangun gedung Direktorat Lalulintas menjadi begitu gagah dan megah, kemudian disebut sebagai Gedung Biru. Dia juga membangun Trafick Managemen Centre Polda Metro, gedung Samsat hingga gedung utama Kapolda Metro. Dia juga membangun Trafick Managemen Centre Polda Metro, gedung Samsat hingga gedung utama Kapolda Metro.

Kembali ke Timur. Apa lacur? Timur Pradopo yang sejak 1998 masuk "kotak" ketika meletusnya peristiwa penembakan Mahasiswa Trisakti saat ia menjabat sebagai Kapoles Jakarta Barat yang memicu kerusuhan Mei 1998. Malangnya nasib Timur bertambah ketika dia dimutasi menjadi Kapolres Jakarta Pusat, lagi-lagi meletus peristiwa Semanggi 1 pada th 1999. Tapi pasca Kapolri Sutanto yang masih di era Presiden SBY, Timur "diam-diam" justru diproyeksikan SBY sebagai Kapolri menggantikan kandidat utama Susno yang sedang bermasalah pada saat itu. Maka pelan-pelan dikeluarkanlah Timur dari "kotaknya" itu. Timur setelah menjabat sebagai Kapolres Jakarta Pusat, dia melanglangbuana tak tentu arah. Dia menjabat Kapuskodalops Polda Jawa Barat, Kapolwiltabes Bandung, Kakortarsis Dediklat Akpol, Irwasda Polda Bali.

Titik terang dimulai 2005 saat dia menjabat Kapolda Banten, Kaselapa Lemdiklat Polri 2008, Staff Ahli Kapolri BHD di bidang sosial 2008. Melejit saat menjabat Kapolda Jabar 2008-2010, Kapolda Metro Jaya, Kabaharkam Polri baru kemudian menjadi Kapolri.

Oleh Presiden SBY, sebenarnya yang hendak dijadikan Kapolri adalah Susno Duadji. Tapi karena Susno "kecemplung" kasus Cicak-Buaya yang merembet ke kasus2 lain, seperti ketika Susno mengungkap ke publik adanya permainan perkara Gayus Tambunan, Syahril Johan hingga rekayasa kasus Antasari Ashar. 

Terpaksa "plan B" digunakan yaitu Timur Pradopo yang "harus" menggantikan BHD sebagai Kapolri. Padahal Susno diketahui sebagai "anak buah kesayangan" SBY saat di Bosnia dulu. Sudah menjadi rahasia umum juga di kalangan internal kepolisian kalau SBY sangat "perhatian" terhadap para perwira polisi yang pernah ikut bersamanya saat SBY memimpin pasukan perdamaian PBB di Bosnia pada th 1996 lalu. Selain Timur Pradopo dan Susno Duadji, Kapolri Bambang Hendarso Danuri (BHD) juga.

Padahal di era Presiden Gus Dur yang Kapolrinya Bimantoro dan Presiden Megawati yang Kapolrinya Dai Bachtiar mereka selama bertahun-tahun berdinas tanpa posisi strategis yang empuk. Mereka2 ini tidak pernah diajak masuk ke "gerbongnya" Kapolri Bimantoro apalagi penggantinya, Kapolri Dai Bachtiar. Mereka "nobody" di kalangan kepolisian saat itu. Tapi nasib baik muncul saat Demokrat dan SBY muncul 2004. Mereka: Sutanto, BHD,  Timur, Susno “terangkat” karirnya dan melejit-lejit menjadi petinggi-petinggi kepolisian. Gerbong Bimantoro-Dai Bachtiar pelan-pelan “terkikis”.

Hanya Makbul Padmanegara sisa anggota gerbongnya Dai Bachtiar yang “bertahan” karena bermain “cantik” sehingga dapat mencapai posisi Wakapolri (TB 2). Padahal ketika Makbul menjabat Kapolda Metro Jaya dengan pangkat Inspektur Jenderal (Irjen), BHD hanya salah satu anak buahnya Makbul dengan jabatan Sesditserse dengan pangkat Komisaris Besar (Kombes). Bayangkan “sakitnya” Makbul yang di “plot” sebagai Kapolri menggantikan Dai Bachtiar kalau saja Megawati SP berhasil menang dalam Pilpres 2004 lalu. Tapi nasib berkata lain, grup “Pasundan” Jawa Barat (Dai-Makbul) selesai. Digantikan grup “Majapahit” Jawa Timur ketika SBY berkuasa dimana Sutanto menjadi Kapolri.

Kembali ke Timur, setelah menjabat Kapolda Banten selama 3 th kemudian beberapa bulan menjabat Kaselapa Polri dan Sahli Kapolri. Dia pun dijadikan Kapolda Jawa Barat dengan pangkat bintang 2 dengan “tugas” mensukseskan Pemilu 2009 dan “mensukseskan” Demokrat dan SBY-Boediono di Jawa Barat dengan cara mengerahkan segenap potensi Keluarga Besar Polisi. Sukses bertugas, usai Pemilu 2009 sebagai "hadiah" Timur mendapat tugas sebagai Kapolda Metro Jaya. Tak sampai setahun menjabat Kapolda Metro, Timur diangkat sebagai Kepala Baharkam Polri dengan dianugerahi bintang 3.  Tak sampai setahun menjabat Kapolda Metro, Timur diangkat sebagai Kepala Baharkam Polri dengan dianugerahi bintang 3.

Sepekan sebagai Kepala Baharkam, Timur dipilih sebagai Kapolri. Setelah Susno “selesai”, SBY hanya inginkan Timur sebagai Kapolri. Itu sebabnya saat 3 nama yang disodorkan Kapolri BHD ke SBY sebagai kandidat Kapolri saat itu, yaitu Nanan Sukarna, Imam Sudjarwo dan Timur P, justru hanya nama Timur yang disodorkan SBY kepada DPR untuk di fit proper test. Hancurlah harapan Nanan dan trio serangkainya Djoko - I Ketut Untung Yoga Ana – Edward Aritonang.

Setelah Timur ditetapkan sebagai Kapolri, Nanan hanya kebagian jatah Wakapolri. Sejak itulah perseteruan senyap & dingin mulai berlangsung. Perseteruan tersebut sebenarnya sama saja ketika BHD menjabat Kapolri dimana Makbul sebagai Wakapolri. Namun BHD cenderung mengalah kepada Makbul, karena bagaimanapun Makbul adalah senior jauh BHD bahkan pernah menjadi atasan yang begitu dihormatinya.

Lain cerita dengan Timur dan Nanan. Memang Timur dan Nanan rekan satu angkatan sebagai taruna Akpol 1978. Tapi Nanan sebagai taruna terbaik peraih Adhi Makayasa Polri. Sedangkan Timur tergolong biasa-biasa saja. Nanan pun dianggap sebagai “sisa” kelompok Pasundan-nya Dai Bachtiar, dimana Nanan menjabat Wakapolda Metro Jaya (2003-2004) ketika Kapolda-nya dijabat Makbul Padmanegara. “cold fight” antara Timur dan Nanan memang semakin menghangat.

Berbagai gejolak sosial di tengah masyarakat dianggap “keteledoran” Nanan yang kurang maksimal membenahi internal Polri. Ledakan mercon di Gelora Senayan saat SBY menonton bola, peledakan bom di gereja di Solo, bentrokan di Bima, Lampung dll juga dianggap sebagai “kesalahan” Nanan. Belum lagi mutasi besar-besaran di kalangan Pamen dan Pati ketika awal2 Timur menjabat Kapolri dianggap upaya menempatkan “orang-orangnya” Nanan di berbagai jabatan strategis di kepolisian.

Kembali ke Djoko Soesilo. Saat di bulan2 terakhir BHD menjabat Kapolri, Ditlantas Mabes Polri dinaikkan levelnya menjadi Korp Lantas Polri. Saat itu posisi Direktur Lantas Mabes Polri dijabat Djoko Soesilo dengan pangkat Brigjen. Setelah sebelumnya Djoko menjabat sebagai Wakil Direktur Lantas Mabes Polri dengan pangkat Kombes. Sebelumnya, Djoko menjabat Direktur Lantas Polda Metro mengikuti Sespati bersama I Ketut Untung Yoga Ana dan Edward Aritonang.

Usai menjalani Sespati dimana Djoko Soesilo terpilih sebagai siswa terbaik, ia pun dipromosikan sebagai Wadirlantas Mabes Polri. Beberapa bulan menjabat Djoko Soesilo langsung naik sebagai Dirlantas Polri dengan pangkat bintang 1. Djoko yang menggagas Polisi Masyarakat (Polmas) oleh Kapolri BHD dinaikkan pangkatnya menjadi bintang 2 (Irjen), seiring dengan naiknya level Ditlantas Polri itu menjadi Korlantas Polri.

Salah satu kesuksesan Djoko saat menjabat Wadirlantas dan Dirlantas Mabes Polri saat Djoko “mengamankan” kepentingan tugas dan wewenang Polri ketika RUU Lalulintas dan Angkutan Jalan (RUU LLAJ) yang digodok di DPR pada Januari hingga Mei 2009. Saat itu dalam draft RUU LLAJ yang diajukan Kementerian Perhubungan (Pemerintah), disebutkan dalam salah satu pasalnya hendak mengambil alih proses penerbitan SIM, STNK dan BPKB menjadi salah satu tugas dan wewenang Kementerian Perhubungan. Tentu saja Polri “menjerit” dengan salah satu pasal dalam draft RUU itu. Sebab dalam hal SIM, STNK, BPKB – lah Polri mendapat pasokan “darah segar” dalam operasionalnya, termasuk menggemukkan pundi-pundi kekayaan para petinggi Polri itu.

Sekedar tahu saja, uang “suap” dan pungli diperoleh dari SIM, STNK, BPKB, mutasi, balik nama, pesanan nopol cantik, nopol khusus & nopol blank (bebas pajak) dan cek fisik. Khusus hanya di Polda Metro saja menerima sekitar Rp 2 milyar setiap harinya. Coba hitung kalau ada 33 Direktorat Lalulintas Polda di seluruh wilayah NKRI ini ?

Tim khususpun dibentuk Polri, yang dimotori Djoko Susilo sebagai Direktur Lalulintas Mabes Polri untuk menggagalkan rencana Pemerintah cq Kementerian Perhubungan itu. Djoko juga dibantu Edward Aritonang yang saat itu menjabat Kepala Divisi Humas Mabes Polri dan I Ketut Untung Yoga Ana sebagai Kabag Penerangan Umum Mabes Polri kemudian diporomosi menjadi Wakil Kepala Divisi Humas Mabes Polri.

Berbagai “gerilya” dilakukan. Mulai ke anggota DPR khususnya jajaran Komisi III yang membawahi kepolisian & Komisi V yang membawahi perhubungan. “Gerilya” juga dilakukan ke berbagai kantor media massa dan LSM-LSM. Para peneliti dan pemerhati perhubungan juga menjadi sasaran “proyek penggagalan” pasal yang diajukan pemerintah yang dinilai akan “merampas” kenikmatan duniawi mereka. Bidang komunikasi dilakukan Edward dan Ketut. Berbagai dalih diajukan, mulai dalih hanya polisi yang sangat mengerti ilmu forensik kendaraan, mencegah dan mengusut aksi terorisme dengan menggunakan bom mobil yang sudah direkayasa sehingga sulit diidentifikasi. Maupun mencegah maraknya kejahatan curanmor.

Banyak dalih2 lain yang diajukan, dengan menggunakan corong LSM, anggota dewan, pers dan peneliti dan pemerhati perhubungan yang sudah “dibeli”. Kerja tim khusus Djoko Soesilo, Edward Aritongang, I Ketut Untung Yoga cs sangat sukses. Mungkin ratusan milyar uang bahkan lebih yang “ditebar” untuk mengamankan wewenang2 Polri dalam lalulintas itu. Djoko dinilai sangat berhasil melakukan tugasnya sebagai motor tim khusus dalam menggagalkan keinginan Kemenhub. RUU LLAJ disahkan pada minggu keempat Mei 2009 dimana Polri tetap memegang wewenang tanpa berubah sedikitpun. Polri tetap memiliki wewenang menerbitkan SIM, STNK dan BPKB maupun wewenang lain terkait lalulintas itu. Saat sedang “ramai2nya” RUU LLAJ itu, di saat yang bersamaan itu, mencuat kasus pembunuhan Direktur PT RNI Nazrudin Zulkarnaen yang tewas ditembak di Tangerang. Ketua KPK Antasari Azhar yang saat itu sedang getol menyadap hubungan HP para petinggi Polri terseret menjadi tersangka utama pembunuhnya. Mungkin kalau Antasari Azhar tetap sebagai Ketua KPK saat itu, akan banyak petinggi Polri dan anggota dewan yang ditangkapinya karena terlibat transaksi jor-joran dalam proses tarik ulur RUU LLAJ itu.

Selanjutnya, ketika Djoko menjadi Korlantas dan Timur menjabat Kapolda Metro Jaya, benih-benih ketidak sukaan Timur kepada petinggi2 jajaran Lalulintas Polri terlihat ketika pengganti Djoko sebagai Direktur Lalulintas Polda Metro Jaya, Kombes Condro Kirono digantikan Kombes Royke Lumowa. Nanan-Djoko-Condro sebenarnya sudah punya calonnya sendiri sebagai penggantinya Condro sebagai Dirlantas Polda Metro Jaya. Tapi yang muncul justru Royke Lumowa yang diduga kuat sebagai orang “titipan” Cikeas, karena isterinya Royke adalah dokter tentara dari Kowad yang merupakan salah satu anggota tim kedokterannya Ibu Ani Yudhoyono.

Timur juga menjadi “tidak suka” kepada Djoko, selain karena Djoko sangat kental warna Nanan-nya. Juga karena Djoko mau menerima kenaikan pangkat bintang 2 dari Kapolri BHD. Padahal sebelumnya Timur sudah meminta Djoko agar mau menjadi Staf Ahlinya (Sahli) kalau dirinya menjabat Kapolri nantinya. Tapi Djoko berfikir lain, kesempatan harus diambil dan toh yang paling bagus potensinya menjadi Kapolri nantinya adalah Nanan. Tapi arah angin politik tidak dapat ditebak Djoko. Timur yang menjadi Kapolri.

Demi menjaga “kebersihannya” di mata Cikeas, dan karena muncul benih ketidaksukaannya pada Djoko, makanya Timur diketahui paling pantang menerima “upeti” dari jajaran Lalulintas yang dipimpin Djoko ini. Persoalan juga muncul saat Djoko menolak sistem Inafis dimasukkan sebagai program terpadu dalam proses pengambilan identitas bagi peserta SIM. “Program alat simulator pada proses pengambilan SIM harus jalan terus. Program Inafis silakan dilakukan sendiri oleh reserse (Bareskrim). Janganlah program identitifikasi pada Inafis dicampur baurkan dgn SIM,” begitu kira-kira dalih Djoko saat menolak dipadukannya program Inafis itu ke SIM.

Djoko pun kala itu sedang perlu dana untuk membangun Nasional TMC (NTMC) Korlantas Polri di samping TMC Polda Metro Jaya yang dibangun pula oleh Djoko. Djoko memang perwira pembangun. Saat itulah kekesalan Timur terhadap Djoko semakin menjadi. Tapi gaya “Majapahit” tetap berlaku. Walau “tidak suka” kepada Djoko. Tapi Timur tetap “merestui” Djoko menduduki jabatan Gub. Akpol yang dilantiknya pada 2 Maret 2012. Jebakan Batman ??

“Perseteruan” kembali menghangat karena Kapolri Timur Pradopo sudah harus pensiun pada 10 Januari 2013 di saat umurnya 57 thn. Siapa penggantinya? SBY berharap penggantinya Timur adalah “orang muda” yang berprestasi gemilang, cerdas, santun, rendah hati, penurut & yang utama, selain dapat mengamankan Pemilu 2014 juga dapat kendalikan Polri setelah SBY lengser setidaknya 4 th seusai Pemilu 2014.

Siapa? pilihan ada pada “2 anak muda” yang memenuhi kriteria tsb. Kapolda Jawa Barat Irjen Putut Bayu Eko Seno yang disukai Timur, dan Djoko Susilo perwira andalannya Nanan. Sama-sama Akpol angkatan 1984 dan sama2 lahir 1961. Keduanya baru pensiun dari Polri pada 2018, 4 thn setelah Pemilu 2014 atau setahun jelang Pemilu 2019. Djoko sangat memenuhi kriteria tapi Djoko belum pernah pegang komando wilayah setingkat Polda type A. Djoko Soesilo harus menjadi Kapolda. Syukur-syukur Kapolda Metro, baru selanjutnya layak mendapat bintang 3. Yang berarti tinggal selangkah lagi menjadi Kapolri. Bayangkan Kapolri dari jajaran lalulintas yang memang akan sangat langka.

Tapi Djoko memang istimewa. Mendapat beberapa penghargaan Presiden SBY. Prestasi Djoko jauh lebih baik dibanding Putut. Timur yang hanya dalam hitungan 5 bulan ke depan sudah harus masuk Masa Persiapan Pensiun (MPP) pasti dia “tidak terima”  kalau pengganti sementaranya Nanan Sukarna. Sebab Nanan pasti akan memuluskan menjadikan Djoko sebagai Kapolri. Timur pun tahu kasus Simulator SIM, dan menolak mentah2 “upeti” yang disodorkan Djoko. Timur tahu soal pemukulan terhadap Bambang Sukotjo. Timur tahu Sukotjo dijebloskan ke penjara lewat pengadilan Bandung Jawa Barat. Timur juga tahu upaya naik banding Sukotjo berbuah kenaikan jumlah hukuman yang diterima Sukotjo.

Majalah Tempo memblow up kasus ini hanya 50 hari sejak Djoko dilantik sebagai Gubernur Akpol. Majalah Forum mengikutinya. Media2 lain diam saja. Djoko sangat dekat dengan media dan pekerja pers. Sukotjo terus “berteriak” masalah ketidakadilan yang menimpanya. Bersama tim pengacaranya Sukotjo juga melapor ke KPK!

Gong berbunyi. Djoko yang sudah masuk “Jebakan Batman” harus menerima dampaknya. Pers harus menjadi gempar! 26 jam belasan penyidik KPK dan barang bukti yang disita harus “mendekam” di Mabak II (sebutan Markas Korlantas Polri). Jajaran Korlantas Polri yang sebelumnya sangat “welcome” saat KPK datang menggeledah yang dimulai jam 4 sore Senin 30 Juli. Tapi 4 jam kemudian mendadak didatangi jajaran reserse dari Bareskrim Mabes Polri, bahkan disusul dengan kedatangan Kepala Bareskrim Mabes Polri Komjen Sutarman.

Jajaran Bareskrim langsung menghalangi proses penggeledahan. Cekcok mulut dan pelarangan keras terlontar dari pihak reserse. Para petugas Korlantas hanya “melongo” bingung dengan apa yang sedang terjadi. Tengah malamnya 3 pimpinan KPK termasuk Abraham Samad datang. Perdebatan 3 pimpinan KPK itu berlangsung 3 jam dari tengah malam Senin 30 Juli itu hingga jam 3 pagi Selasa 31 Juli dengan Kabareskrim Sutarman yang didampingi beberapa direktur penyidiknya. Perdebatan menemui jalan buntu.

Jam 6 pagi keluar statement KPK, Irjen Djoko Soesilo jadi tersangka KPK. Jam 8 pagi pernyatan resmi KPK keluar lagi. “Irjen Djoko Soesilo jadi tersangka KPK dalam kasus Simulator SIM”. Bayangkan, Gubernur Akpol Irjen Djoko Susilo yang begitu cemerlang karir kepolisiannya jadi tersangka kasus korupsi oleh KPK.

Tapi berita memang belum mencapai “ledakan” maksimal. Barang bukti dan penyidik KPK tetap dihalangi keluar dari markas Korlantas itu. Berita semakin dramatis. Sepanjang hari Selasa 31 Juli mulai pagi hingga sore berita di internet (online) khususnya, maupun di radio dan televisi berita di dominasi insiden “penyanderaan” dan jadi tersangkanya Irjen Djoko Soesilo sang Gubernur Akpol. Wartawan dan fotografer pers dari berbagai penjuru memenuhi Mabak II. Puluhan wartawan yang di Semarang “memburu” Irjen Djoko Soesilo di komplek Akpol. Menkopolhukam angkat bicara, “Engak ada cecak dan buaya jilid II”.

GONG! Besoknya Rabu 1 Agustus nyaris semua koran nasional dan lokal memuat berita utama : “Irjen Djoko Susilo Gubernur Akademi Kepolisian menjadi tersangka korupsi KPK !!!” 

“Perang ala Majapahit” sukses? Nanan yang sering membuat “mangkel” Timur disebut-sebut menerima “upeti” dari proyek Simulator SIM itu? berapa? 10 milyar? 20 milyar? 30 milyar? siapa lagi perwira tinggi Polri yang menerima? Semua tergantung Djoko saat diperiksa penyidik KPK yang hanya berpangkat Komisaris Polisi (Kompol). Bintang 2 (Irjen) diperiksa melati 1 (kompol). Tamat riwayat kepolisian Djoko Soesilo.

Djoko sudah habis..bis..bis.. Hancur nama besarnya. Bisa masuk penjara. Dan yang pasti tidak mungkin jadi Kapolri. Sekian "Kasus Korupsi Irjen Djoko S dan Perang Bandar di Tubuh Polri" terima kasih yang sudah menyimak. 

Inafis: proyek Komputerisasi IT sidik jari, yang mark up harganya & gagal..ada dugaan Djoko yang membocorkan & menggagalkan proyek bareskrim ini tetap akibat dari pertarungan internal Polri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar