Sabtu, 16 Juni 2012

SBY dan Janji Kosong Pemberantasan Korupsi

Mantan Ketua KPK Taufiqurahman Ruki menulis di Kompas yg berjudul Komitmen Melawan Korupsi. Ruki mengingatkan bahwa SBY sudah berkali2 ucapkan jargon kampanyenya yakni akan memimpin langsung pemberantasan korupsi. Termasuk di istana ketika ketemu tokoh LSM. Ruki menilai sebagai "kemauan" jargon itu memang diagung2kan SBY, tapi dlm kenyataannya tuduhan korupsi itu ditujukan pada SBY, keluarga dan PD. Kemauan SBY terhadap pemberantasan korupsi tidak pernah sampai kepada tindakan nyata sehingga hasilnya pun hanya sampai wacana saja. Faktanya juga indeks prestasi korupsi Indonesia masih di kelas bawah atau political economy risks country alias main sampai level bawah. Dengan indeks prestasi korupsi itu, tingkat korupsi indonesia dinilai masih seperti yg dahulu alias "tidak ada perobahan" sama sekali. Korup

Budiono juga pernah mengatakan bahwa untuk berantas korupsi dibutuhkan "strong and suistainable commmitment" dari pemimpin. Tapi itu hanya teori. Kenyataannya pemimpin kita alias Yth. Presiden SBY sama sekali tidak punya komitmen yg kuat dan berkelanjutan dalam pemberantasan korupsi. Di Indonesia & dimanapun dunia, pemberantasan korupsi sangat tergantung pada pemimpinnya, terutama Presiden dan Ketua Mahkamah Agung. Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, pemberantasan korupsi berawal dari dirinya dan pencegahan juga sangat bergantung padanya. Dimulai dari kemampuan presiden memilih pembantu2nya, membuat sistem dan membersihkan dirinya, istana dan instansi2 di bawahnya

Faktanya, presiden, istana dan instansi2 di bawah presiden malah terjebak dalam perilaku & sistem yang korup. Bahkan di instansi hukumnya, Polri, Kejaksaan, Kemenhukham, BPKP dst yang merupakan instansi hukum dibawah presiden malah tercatat sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Korupsi di tingkat atas : istana, kementerian dan lembaga ini juga diikuti oleh instansi di daerah2 sampai ke tingkat yg paling bawah

Intinya adalah jargon yg diucapkan SBY ternyata hanya bualan kosong dan faktanya pemberantasan korupsi di RI sungguh sangat mengecewakan. Hakim juga memiliki peran yg sangat penting dalam pemberantasan korupsi sebab akhir penegakan hukum adalah vonis pengadilan atau hakim. Vonis hakim yg keras dan progresif akan menimbulkan efek pencegahan terhadap terjadinya tindakan pidana korupsi di masa akan datang. Vonis hakim terhadap pelaku korupsi : hukuman badan, denda maupun hukuman tambahan, sangat tidak memadai dibandingkan dengan usaha penyidik dan kerja keras penuntut umum utk membawa kasus korupsi ke pengadilan. Juga tidak seimbang dengan biaya yg dikeluarkan. Apalagi jika dibandingkan dengan rasa keadilan masyarakat. Bayangkan, begitu banyaknya vonis hakim yg hanya jatuhkan hukuman < 1 tahun.

Memang Ketua MA tidak dapat melakukan intervensi kepada hakim dalam menjatuhkan vonis. Tapi ketua MA dapat buat surat edaran untuk para hakim, agar menjatuhkan hukuman maksimal kepada setiap koruptor yg terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi. Hal ini bagian dari UU. Rendahnya komitmen SBY, Ketua MA & para hakim inilah yg buat frustasi seluruh aparat penegak hukum. Frustasi terbesar datang dari rakyat. Frustasi di kalangan penegak hukum ini membuat mereka saling lempar tangan dan cari kambing hitam setiap kegagalan pemberantasan korupsi. Sementara itu rakyat semakin frustasi menonton "sandiwara busuk yg tak lucu" yg terus menerus dipertontonkan aparat penegak hukum.

Kemuakan dan kejijikan rakyat terhadap perilaku aparat penegak hukum dan penyelenggaran negara ini direfleksikan dalam dua sikap. Mayoritas rakyat yg tidak memiliki kemampuan berekspresi, memilih diam daripada mempertaruhkan hidup jika mengekpresikan suara hatinya. Sikap diam dari mayoritas rakyat ini (silent mayority) ini terhadap perilaku koruptif dari aparat penegak hukum & penyelenggaran negara ini bagaikan api dalam sekam atau dinamit yg sumbu panjangnya sedang terbakar perlahan. Suatu ketika pada saatnya akan meledak maha dahsyat. Menghancurkan apa saja yg ada di sekitarnya tanpa kecuali dan pandang bulu. Termasuk non aparat/penyelenggara negara yg pelaku utamanya. Menghantam dan menghancurkan setiap sasaran yg ada didepannya sbg wujud pelampiasan kemarahan terhadap regim yang korup.

Jika situasi sampai tak terkendali, bukan tidak mungkin kemarahan rakyat ini dilampiaskan dgn menghukum pemimpin dan penghuni istana dengan cara kekerasan dan menerapkan hukum rakyat atau hukum jalanan yg sangat kejam dan biadab sebagaimana kita saksikan di negara2 korup di LN. Regim Indonesia yg sangat korup saat ini harus bersyukur karena masih ada sebagian kecil masyarakat yg "ribut, nyinyir, cerewet" (noisy minority). Noisy minority ini terus menerus mengingatkan regim korup ini utk sadar & bertobat diri meninggalkan perilaku koruptif yg sdh destruktif. Tetapi noisy minority ini sebagaimana juga silent moyority jg punya batas kesabaran. Jika regim korup tetap saja korup, dan pemimpinnya tetap, maka silent mayority dan noisy minority secara alami akan bergabung menjadi suatu kekuatan maha dahsyat utk bertindak sendiri menghukum pemimpinnya tetap saja bersolek mematut diri demi pencitraan semu yg tampilkan kemunafikan & dusta, maka tunggu saja saat kehancurannya.

Menghukum para pemimpinnya yg korup dgn cara & tindakan yg sama sekali tdk pernah terbayangkan. Mungkin lebih "kejam" dibandingkan thn 1998. Hukum rakyat terhadap pimpinan yg korup, munafik,busuk ini akan timbul setiap saat ketika regim terus berpesta pora dihadapan rakyat yg muak. Ketika itu terjadi, penyesalan sudah terlambat, nasi sudah jadi bubur dan arang telah binasa. Sejarah bangsa kembali ternoda. Tunggu saja !

by @triomacan2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar